Sabtu, 09 April 2011

ASPEK HUKUM KEBIJAKAN PERKEMBANGAN PRODUK PERBANKAN SYARIAH


Tahun 1930 terjadi keributan atau gonjang ganjing ekonomi, dimana sistem ekonomi mainstream yang disebut juga sistem ekonomi dominan di dunia pada saat itu sebagai arus utama di Negara-negara maju khususnya USA menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia. Sehingga pada saat itu, great depresion awal tahun 1930 terjadi, presiden AS, Franklin D. Roosevelt mempertanyakan keberadaan ekonomi alternatif untuk menjawab depresi besar yang terjadi ketika itu. Depresi ini menyadarkan dunia, ternyata sistem ekonomi mainstream yang telah diterima saat itu membawa malapetaka bagi kehidupan umat manusia.
Melihat fenomena faktual sistem ekonomi dunia maka muncul tuntutan mencari sistem ekonomi alternatif tersebut, secara nyata kita dapat memotret wajah buram ilmu ekonomi kapitalis dalam mencapai tujuan-tujuannya. Salah satu topik paling penting menjadi diskursus pada saat itu adalah topik “ekonomi alternatif.” Karena, masalah ekonomi yang sebenarnya adalah terletak kepada bagaimana kekayaan diperoleh, dan tidak terletak kekayaan itu ada atau tidak. Karena akar permasalahannya adalah terletak kepada konsep bagaimana perolehan atau kepemilikan (property), termasuk tentang absurditas transaksi dalam masalah kepemilikan (property), dan distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Atas dasar inilah sistem ekonomi Islam merupakan hukum-hukum yang mengatur tiga hal pokok yaitu kepemilikan, pengelolaan, dan distribusi kekayaan. Tiga hal ini adalah yang nantinya menjadi asas dari sistem ekonomi Islam itu sendiri. Tiga hal inilah yang dilupakan dalam sistem ekonomi mainstream yang dominan, sehingga kegagalan-kegagalan akan terus datang silih berganti.
Indonesia sebagai Negara yang menganut sistem ekonomi barat atau kapitalis, maka juga ikut tersangkut dan terkena imbas dari carut marutnya persoalan ekonomi dunia. Maka krisis demi krisis ekonomi yang terus berulang, seperti di tahun 1930, 1970, 1980, 1999 sampai 2007 ini – telah secara nyata membuktikan bahwa sistem ekonomi kapitalis maupun sosialis yang mendasarkan diri pada filsafat materialisme – sekularisme telah gagal menjawab dan menyajikan solusi atas persoalan ekonomi dan kemanusiaan.
Setelah melalui perjalan panjang, akhirnya Indonesia mengakui adanya tuntutan adanya ekonomi alternatif yaitu Sistem ekonomi Islam dalam bidang perbankan Islam yang sebenarnya sudah lebih dulu eksis dalam kehidupan masyarakat. Tetapi, itu tidak cukup memberikan legitimasi eksistensi dari sistem perbankan Islam di Indonesia Karena legitimasi tersebut tidak memberikan ruang gerak yang memadai dalam operasionalnya.
Untuk membandingkan perkembangan perbankan syariah, kita bisa lihat perkembangan sistem hukum perbankan Islam di Negara-negara tetangga kita semisal Malaysia, Sehingga, gerak dari sistem perbankan Islam di Malaysia sungguh luar biasa dan mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam sistem perekenomian nasional Malaysia. Pertanyaan yang muncul, kenapa di Indonesia sebagai Negara dengan mayoritas beragama Islam terbanyak di dunia hal itu tidak bisa berjalan sesuai keinginan kita, adakah yang salah dari kita ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu kita lakukan pembahasan dan analisa beberapa aspek dan persoalan yang dihadapi perbankan Islam di Indonesia sebagai berikut : 1. Sejarah perkembangan Sistem perbankan Islam di dunia dan Indonesia, 2. Prospek perbankan syariah di Indonesia, dan 3. Aspek hukum dan peraturan pendukung Perbankan Syariah di Indonesia dengan mencoba membandingkan aspek hukum perbankan Islam di Malaysia.
Sejarah Perbankan Islam di Indonesia
Sebagaimana perkembangan pemikiran perbankan syariah di dunia khususnya –Negara-negara Islam, Indonesia ikut kena imbas dari tuntutan pemikiran cendikia-cendikia muslim Indonesia.
Indonesia sebagai Negara mayoritas berpenduduk muslim terbesar didunia muncul pemikiran tentang perlunya menerapkan perbankan berbasis syariah yang muncul pada 1974. munculnya gagasan pemikiran perbankan berbasis syari’ah dalam sebuah seminar Hubungan Indonesia-Timur Tengah yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK). Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat Islam Indonesia memiliki perbankan Islam sendiri mulai berhembus sejak itu, seiring munculnya kesadaran baru kaum intelektual dan cendekiawan muslim dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan yang melelahkan mengenai hukum bunga Bank dan hukum zakat vs pajak di kalangan para ulama, cendekiawan dan intelektual muslim.
Perbedaan dan perdebatan dikalangan para cendikiawan atau ulama’ sangat luar biasa, perbedaan pandangan di kalangan ulama Indonesia mengenai bunga yang secara garis besar terbagi pada tiga kelompok yaitu; kelompok yang menghalalkan, kelompok yang mengatakan syubhat dan kelompok yang mengharamkan. Hal ini sangat menentukan respon masyarakat terhadap bank Syariah. Umar Syihab, salah seorang ulama NU (Nahdatul Ulama) sebagai representasi ulama berpendapat bahwa bunga bank adalah halal, didasarkan pendapatnya pada beberapa alasan. Pertama, jumlah bunga uang yang dipungut dan diberikan oleh bank kepada nasabah jauh lebih kecil dibandingkan dengan riba yang diberlakukan di jaman jahiliyah. Kedua, pemungut bunga bank tidak membuat bank itu sendiri dan nasabahnya memperoleh keuntungan besar atau sebaliknya tidak akan merasa dirugikan dengan pemberian bunga. Ketiga, tujuan pengambilan kredit dari debitor pada jaman jahiliyah adalah untuk konsumsi, sementara pada saat ini bertujuan produktif. Keempat, adanya kerelaan antara kedua belah pihak yang bertransaksi sebagaimana halnya kebolehan dalam jual-beli dengan asas kerelaan.
Adapun pendapat Majelas Tarjih Muhammadiyah sebagai organisasi terbesar kedua di Indonesia memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara kepada nasabahnya, atau sebaliknya selama berlaku termasuk ke dalam perkara syubhat. Akan tetapi dari faktor tersebut, hanya menyinggung bunga bank yang diberikan oleh bank negara, dengan menyatakan bahwa bunga yang diberikan oleh negara diperbolehkan, karena bunga yang diberikan masih tergolong rendah, jika dibandingkan dengan bunga pada bank swasta.
Organisasi Nahdatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, di samping Muhammadiyah, memutuskan masalah bunga bank tersebut dengan beberapa kali sidang, dengan terjadinya polarisasi pendapat pada tiga kelompok yaitu, haram, halal, dan Syubhat. Namun, meskipun terdapat perbedaan pandangan, Lajnah Bahsul Masa’il memutuskan bahwa yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama, yakni bunga bank haram.
Adanya perbedaan dikalangan umat Islam tidak menyurutkan munculnya perbankan syariah di Indonesia, rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syariat Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah. Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait. Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Setelah berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang diikuti oleh berdirinya BPRS-BPRS lainnya dan terbuktinya perbankan syariah tidak terkena imbas dari krisis moneter pada tahun 1998 maka akhirnya diikuti oleh berdirinya perbankan-perbankan umum membangun perbankan berbasis syariah
Aspek Hukum dam Peraturan Pendukung Perbankan Syariah
a. Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
Sebagaimana disampaikan diatas, perbankan syariah di Indonesia berjalan cukup menjanjikan walau geraknya tidak secepat perbankan konvensional, hal ini akibat dari sistem dan perangkat hukum yang mendukung perbankan syariah tidak memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi perbankan syariah untuk berkembang. Kita bisa melihat sebelum adanya revisi terhadap undang-undanga perbankan atau munculnya UU No 10 tahun 1998 tentang perbankan, tidak ada perangkat hukum yang mendukung sistim operasional bank syariah, kecuali UU No 7 Tahun 1992 dan PP No 72 Tahun 1992. Dalam UU No 7 Tahun 1992 itu keberadaan perbankan syariah dipahami sebagai bank bagi hasil serta perbankan syariah harus tunduk kepada peraturan perbankan umum yang biasa kita sebut bank konvensional.
Setelah adanya revisi terhadap paraturan perundang-undangan perbankan yaitu munculnya UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan terhadap UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa Bank Syariah adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dalam menjalankan aktivitasnya, Bank Syariah menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Prinsip Keadilan
Prinsip ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan margin keuntungan yang disepakati bersama antara Bank dengan Nasabah.
2. Prinsip Kesederajatan
Bank Syariah menempatkan nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun Bank pada kedudukan yang sama dan sederajat. Hal ini tercermin dalam hak, kewajiban, risiko, dan keuntungan yang berimbang antara nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun Bank.
3. Prinsip Ketentraman
Produk-produk Bank Syariah telah sesuai dengan prinsip dan kaidah Muamalah Islam, antara lain tidak adanya unsur riba serta penerapan zakat harta. Dengan demikian, nasabah akan merasakan ketentraman lahir maupun batin.
Pelaksanaan prinsip-prinsip di atas lah yang merupakan pembeda utama antara bank syariah dengan bank konvensional.
Bank Syari’ah / Islam dalam sistem perbankan Indonesia secara formal telah dikembangkan sejak tahun 1992 sejalan dengan diberlakukannya UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Namun demikian, UU tersebut belum memberi landasan hukum yang kuat terhadap pengembangan bank Syari’ah karena belum secara tegas mengatur keberadaan bank berdasarkan prinsip Syari’ah melainkan Bank Bagi Hasil. Pengertian Bank Bagi Hasil yang dimaksudkan dalam UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 belum mencakup secara tetap pengertian Bank Syariah yang memiliki cakupan lebih luas dari bagi hasil. Demikian pula dengan ketentuan operasional, hingga tahun 1998 belum terdapat ketentuan operasional yang lengkap yang secara khusus mengatur kegiatan usaha Bank Syariah. Pada pasal 6 huruf (m) dan pasal (e) tidak disebutkan Bank Syari’ah (Syariah), akan tetapi hanya Bank Bagi Hasil. Kemudian peraturan ini ditindaklanjuti dengan PP No. 72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil.
Pemberlakuan UU Perbankan No. 10 tahun 1998 yang mengubah UU No. 7 tahun 1992 yang diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanan dalam bentuk SK Direksi BI/Peraturan Bank Indonesia, telah memberi landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas lagi bagi pengembangan perbankan Syari’ah di Indonesia. Perundang-undangan tersebut memberi kesempatan yang luas untuk pengembangan jaringan perbankan Syari’ah antara lain melalui ijin pembukaan Kantor Cabang Syari’ah (KCS) oleh bank konvensional. Dengan kata lain, Bank Umum dimungkinkan untuk menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan sekaligus dapat melakukannya berdasarkan prinsip syariah.
UU No.10 tahun 1998 di atas menjadi dasar hukum penerapan Dual Banking System di Indonesia, efek dari hal tersebut adalah perbankan syariah tidak berdiri sendiri(mandiri), sehingga dalam operasionalisasinya masih menginduk kepada bank konvensional. Bila demikian adanya perbankan syariah hanya menjadi salah satu bagian dari program pengembangan bank konvensional. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh perbankan syariah maka dibutuhkan kemandirian perbankan syariah dengan pengaturan secara sendiri perbankan syariah.
Dalam UU No 10/1998 ini juga belum bisa maksimal karena dalam UU ini aspek perbankan syariah dan pendukungnya belum banyak yang dianut secara konsisten. Karena kalau dilihat dari potensi yang dimiliki perbankan syariah yang sungguh luar biasa, tidak mungkin perbankan syariah hanya mendapat porsi dibawah 5 % dari perbankan konvensional nasional, semestinta perbankan syariah bisa mendapatkan porsi 50 % bahkan bisa lebih dari itu, apabila legitisamsi hukum yang diberikan sesuai dengan konsep syariah yang sebenarnya secara kaffah dan konsisten.

Aspek hukum dalam badan-badan usaha


1. Perseroan Terbatas

Pengertian perseroan terbatas adalah badan hukum yang berdiri berdasarkan perjanjian dan modalnya terbagi dalam saham peraturan perlaksanaannya ditetapkan dalam Undang-undang. Organ perseroan terbagi menjadi : Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang tugasnya memegang kekuasaan, Direksi yang tugasnya bertanggung jawab penuh atas kepengurusan dan Komisaris yang tugasnya melakukan pengawasan dan memberi nasehat kepada Direksi dalam menjalankan perseroan berdasarkan pasal 7 ayat 1 samapi dengan ayat 7 Undang-undang No.1 tahun 1995.

Pengertian (pasal 1 ayat 1)

Perseroan Terbatas ( PT ) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan dan peraturan pelaksananya.

Prosedur Pendirian perseroan terbatas adalah sebagai berikut:
1. Perseroan didirikan oleh 2 orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia;
2. Setiap pendiri perseroan wajib mengambil bagian saham atas perseroan yang didirikan;
3. Setelah perseroan disahkan pemegang saham menjadi berkurang 2 orang, maka dalam waktu paling lama 6 bulan sejak keadaan tersebut pemegang saham wajib mengalihkan sebagian sahamnya ke orang lain;
4. Setelah jangka waktu yang dimaksud dalam ayat 3, pemegang saham tetap kurang dari 2 orang maka pemegang saham bertanggung jawab atas segala resiko atau kerugian dan Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan tersebut;
5. Ketentuan yang mewajibkan perseroan didirikan oleh 2 orang atau lebih diatur dalam ayat 1, ayat 3 dan ayat 4 tidak berlaku bagi perseroan yang merupakan Badan Usaha Milik Negara;
6. Perseroan memperoleh status badan hukum setelah Akta Pendirian sebagaimana diatur dalam ayat 1 disahkan oleh menteri;
7. Dalam pembuatan Akta Pnedirian, pendiri dapat diwakili oleh orang lain berdasarkan surat kuasa

Status Badan Hukum

Perseroan memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh Menteri Hukum & HAM RI (dh. Menteri Kehakiman) dan pengesahan diberikan paling lama 60 hari setelah permohonan diterima secara lengkap dan memenuhi persyaratan. Setelah akta tersebut disahkan, wajib didaftarkan dalam Daftar Perusahaan dan diumumkan dalam Berita Negara RI.

Pendaftaran & Pengumuman

Akta pendirian yang telah disahkan Menteri Hukum & HAM RI wajib didaftarkan oleh Direksi dalam Daftar Perusahaan dan wajib diumumkan dalam Berita Negara & Tambahan Berita Negara RI.
Pengumuman ini (PN. Percetakan Negara) supaya perseroan terbatas yang telah disahkan dapat erperan secara sempurna sebagai suatu badan hukum sebagaimana yang diharapkan oleh para pendiri tanpa membebani direksi dengan tanggungjawab renteng apabila mereka melakukan segala tindakan hukum untuk kepentingan perseroan.

M o d a l

Dalam UU PT pengaturan mengenai jenis modal, yaitu terdiri dari :
Modal Dasar ( min. 50 Juta )
Modal Ditempatkan ( min. 25 % dari modal dasar )
Modal Disetor ( min 50 % dari modal ditempatkan )

S a h am

Nilai nominal saham harus dicantumkan dalam mata uang Republik Indonesia

Pemegang Saham

Pemegang saham perseroan harus lebih dari 1 (satu) orang, karena pada dasarnya sebagai badan hukum perseroan dibentuk berdasarkan perjanjian. Apabila perseroan kemudian hanya dimiliki oleh seorang, dalam waktu 6 (enam) bulan pemegang saham harus menjual sahamnya, apabila tidak maka tanggungjawab menjadi pribadi dan atas permohonan pihak yang berkepentingan Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan.

Perlindungan terhadap pemegang saham minoritas :

satu orang pemegang saham atau lebih mewakili 1/10 dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat meminta kepada Direksi atau Komisaris untuk menyelenggarakan RUPS.
Pemegang saham atas nama sendiri atau atas nama perseroan yang mewakili 1/10 dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk dilakukan pemeriksaan terhadap perseroan.
Setiap pemegang saham dapat mengajukan gugatan terhadap perseroan kepada Pengadilan Negeri apabila merasa dirugikan.

Organ Perseroan

Organ perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Komisaris.
Untuk menjadi Direksi dan Komisaris diharuskan memenuhi persyaratan tertentu yang pada intinya harus mempunyai akhlak dan moral yang baik dilihat dari pengembangan suatu usaha.
Di dalam UUPT diatur secara tegas tata cara pemanggilan RUPS, sahnya RUPS dan quorum, sehingga apabila dalam penyelenggaraan RUPS hal-hal tersebut tidak dipenuhi, RUPS menjadi tidak sah

Perbedaan Tugas masing-masing organ perseroan :
RUPS merupakan organ perseroan yang mempunyai kekuasaan paling tinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi dan Komisaris.
DIREKSI bertugas melakukan pengurusan perseroan demi kepentingan dan tercapainya tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.
KOMISARIS bertugas mengawasi kebijaksanaan Direksi, memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan perseroan.


2. Persekutuan Perdata

Bentuk kerjasama untuk mencari keuntungan yang paling sederhana baik cara pendirian maupun cara pembubarannya yang tidak memerlukan persyaratan formal adalah persekutan perdata sebagaimana diatur di dalam KUH Perdata Buku III, Bab 8 pasal 1618 s.d. 1652.
Jadi, yang dimaksud persekutuan perdata adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan dengan maksud untuk mencari keuntungan. Yang dimaksud memasukkan sesuatu dapat berupa uang, barang, goodwill, konsesi, cara kerja, tenaga biasa dan lain-lain.

Pengertian persekutuan perdata dalam RUU ini adalah badan usaha bukan badan hukum yang setiap sekutunya bertindak atas nama sendiri serta bertanggung jawab sendiri terhadap pihak ketiga.

Sementara dalam KUHPer, mengacu pada Pasal 1618 dan 1619 ayat (2) KUHPer, persekutuan perdata yang dikenal dengan nama matschaap berarti perjanjian antara dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukan sesuatu (inbreng) ke dalam persekutuan, dengan maksud membagi keuntungan. Inbreng itu bisa berupa uang, barang ataupun keahlian.

Inbreng dalam RUU tersebut diuraikan sebagai sebagai kewajiban dari setiap sekutu atau orang yang mendirikan dan menjalankan usaha itu. Namun RUU itu menambah satu jenis inbreng yaitu klien atau pelanggan.

Yang perlu dicatat, setiap inbreng yang diberikan oleh sekutu harus disebutkan dengan jelas rincian dan nilainya. Hal ini dimasukan dalam akta notaris saat mendirikan perusahaan.

Penyerahan inbreng barang yang diatur dalam RUU itu mengadopsi Pasal 625 jo Pasal 631 KUHPer. Ada dua cara untuk memasukan barang. Pertama, menyerahkan seluruh hak milik atas barang ke dalam persekutuan. Implikasinya barang tersebut menjadi milik persekutuan dan terpisah dari kekayaan pribadi sekutu.

Kedua, penyerahan manfaat atas barangnya saja. Cara ini mengakibatkan resiko atas pemilikan barang tersebut menjadi tanggung jawab sekutu yang memberikan inbreng. Sedangkan resiko pemanfaatan atas barang menjadi tanggung jawab persekutuan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian persekutuan.

Begitupula dalam inbreng uang, masih mengadopsi Pasal 1626 KUHPer, yang menentukan bahwa uang harus dimasukan tepat waktu sesuai yang diperjanjikan. Jika tidak maka akan dianggap sebagai hutang kepada persekutuan ditambah bunga. Menurut RUU, besaran bunga itu disesuaikan dengan suku buka Bank Indonesia yang berlaku.

Sementara aturan tentang inbreng keahlian RUU itu memiliki aturan sendiri. Dalam Pasal 17 disebutkan bahwa sekutu yang memberikan inbreng keahlian wajib memberikan pertanggungjawaban kepada persekutuan mengenai semua hasil yang diperoleh dari keahlian sesuai yang diperjanjikan. Sedangkan inbreng klien tidak dijelaskan secara jelas dalam RUU tersebut.

Mengenai pembagian keuntungan atau tanggungan kerugian diatur sendiri oleh para pihak dan dituangkan dalam akta notaris. Yang penting disesuaikan dengan inbreng masing-masing sekutu.

Dalam hal persekutuan bubar, harta yang tersisa dikurangi hutang persekutuan, dibagi diantara para pihak. Jika harta lebih kecil daripada hutang, maka selisihnya dianggap sebagai keuntungan yang harus ditanggung para sekutu sesuai yang diperjanjikan.

Bentuk pengurusan maatschap ada dua jenis, yaitu menyerahkan pengurusan pada seorang sekutu atau dengan mendelegasikan tugas pengurusan kepada beberapa sekutu. Ini harus dituangkan dalam akta pendirian.

Terkait dengan pertanggungjawaban keuangan, setiap sekutu wajib melaporkan laporan keuangan tahunan sesuai dengan prinsip akutansi yang berlaku di Indonesia. Paling lambat enam bulan setelah berakhirnya persekutuan.

Cara pendirian persekutuan perdata dimulai saat ditandatanganinya akta pendirian di notaris dan selanjutnya didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan negeri dan akan mendapatkan nomor register dari Pengadilan atas persekutuan perdata yang didirikan dan biaya ditetapkan oleh notaris.
Berakhirnya persekutuan perdata diatur di dalam pasal 1646 KUH Perdata, apabila :
1. Karena jangka waktu berdirinya pesekutuan perdata tersebut sudah habis;
2. Karena barang yang menjadi obyek persekutuan perdata itu menjadi lenyap, atau telah diselesaikannya perbuatan yang menjadi pokok persekutuan perdata tersebut;
3. Karena salah seorang angota persekutuan perdata meninggal dunia, dikuratil, jatuh failit;
4. Karena anggota persekutuan perdata itu sendiri meminta agar persekutuan kvdibubarkan.



3. Firma

Yang dimaksud persekutuan firma adalah tiap-tiap perserikatan yang didirikan untuk menjalankan usaha bersama di dalam satu nama yang terlihat pada adanya nama bersama (misalnya : adanya papan nama firma) dan adanya tanggung jawab yang bersifat solider yang diatur dalam pasal 18 KUHD.

Persekutuan firma adalah badan usaha bukan badan hukum yang setiap sekutunya berhak bertindak untuk dan atas nama bersama semua sekutu serta bertanggungjawab terhadap pihak ketiga secara tanggung renteng. Hal ini senada dengan pengertian firma yang ditentukan dalam Pasal 16 dan Pasal 18 KUHD.

Menurut Pasal 22 KUHD, semua ketentuan dalam persekutuan perdata berlaku dalam firma. Sebab firma merupakan persekutuan perdata yang khusus. Tapi ditegaskan bahwa pembentukannya harus dituangkan dalam akta notaris. Hal ini sesuai dengan Pasal 37 ayat (2) RUU tersebut.

Dalam hal ada sekutu baru yang akan masuk dalam firma maka ia harus mendapat persetujuan dari seluruh sekutu. Namun tidak menutup kemungkinan, sekutu memberi kuasa kepada sekutu lain untuk menyetujui hal itu.

Terkait dengan pembubaran, RUU ini memberikan aturan yang baru buat firma. Dalam Pasal 48 ditentukan bahwa pembubaran firma wajib dibuat dengan akta otektik. Pembubaran juga harus diumumkan dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia berskala nasional.

Selain itu, jika firma bubar maka para sekutu harus melakukan likuidasi, kecuali diperjanjikan lain. Likuidasi itu dapat dilakukan oleh pihak ketiga selaku liquidator. Liquidatorlah yang berkewajiban untuk mengumumkan dalam surat kabar, 14 hari setelah firma bubar.

Pendirian persekutuan firma diatur dalam pasal 22 KUHD dengan syarat :
1. Persekutuan firma harus didirikan dengan akte otentik (notaries);
2. Akte harus didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan negeri setempat;
3. Petikan akte kemudian disiarkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Dalam hal hubungan ke dalam anggota firma diberi kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengatur firmanya sebagaimana diatur dalam pasal 1624 s.d 1641 KUH Perdata, tetapi kebebasan tidak boleh bertentangan dengan isi pasal 1634 dan 1635 KUH Perdata yang memuat:
1. Dilarang memperjanjikan bahwa mereka akan menyerahkan pengaturan tentang besarnya bagian masing-masing kepada salah seorang dari mereka (pasal 1634 KUH Perdata);
2. Dilarang memperjanjikan bahwa semua keuntungan akan diberikan kepada seorang pesero saja (pasal 1635 KUH Perdata).
Berkhirnya persekutuan firma menurut pasal 1646 KUH Perdata, yaitu :
1. Karena ketentuan waktu yang sudah habis;
2. Karena salah seorang anggota meninggal, jatuh failit;
3. Karena obyek daripada firma sudah punah;
4. Karena memang adanya permintaan bubar dari anggota firma

ASPEK HUKUM EKONOMI


Seiring dengan kemajuan zaman terutama kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin banyak muncul spesialisasi, contoh yang mudah diketahui adalah di bidang kedokteran. Kalau dulu hanya dikenal dokter spesialis bedah maka sekarang bedah itu pun sudah terbagi-bagi. Demikian pula dalam ilmu-ilmu lain, termasuk ilmu hukum adan ilmu ekonomi.
Akan tetapi seiring dengan hal-hal di atas sesungguhnya telah terjadi juga semakin keterkaitan bahkan ketergantungan antara satu ilmu dengan ilmu lain.  Ilmu hukum tidak dapat lagi berjalan sendiri melainkan harus bergandengan tangan beriringan dengan ilmu-ilmu lain seperti sosiologi, antropologi, kedokteran, psikologi, kriminologi, ekonomi, dan lain-lain.
Khusus mengenai ekonomi, pada saat ini dapat dikatakan tidak ada lagi kegiatan ekonomi yang tidak berkaitan dengan hukum. Sebaliknya tidak ada lagi kegiatan hukum yang tidak beraspek ekonomi. Dengan demikian pemahaman kedua ilmu itu secara menyeluruh sudah menjadi kebutuhan bersama. Dengan kata lain, seseorang yang mempelajari hukum seharusnya mempelajari ekonomi juga, demikian juga sebaliknya.
Keterkaitan antara Hukum dengan Ekonomis dan Bisnis semakin hari semakin erat. Perhatikanlah kegiatan Ekonomi dan Bisnis di sekitar anda, manakah yang tidak berkaitan dengan Hukum? Oleh karena itu, para pelaku Ekonomi dan Bisnis semakin perlu memahami Hukum, terutama hal-hal yang berkaitan langsung dengan aktivitas keseharian masing-masing. Tidak heran jika semakin banyak pelaku Ekonomi dan Bisnis yang secara sengaja berusaha meningkatkan pemahaman mereka tentang Hukum melalui berbagai cara, termasuk mengikuti pendidikan tinggi hukum. Akan tetapi, cara ini tidak cocok untuk sebagian mereka mengingat berbagai keterbatasan sehingga diperlukan jalan lain, seperti pelatihan singkat dan konsultan hukum pribadi yang sewaktu-waktu dapat memberikan pemahaman hukum. Pada saat ini, sudah banyak perusahaan dan organisasi yang secara sengaja mengadakan pelatihan singkat kepada pada pelaku Ekonomi dan Hukum.

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI


Studi kelayakan sangat diperlukan oleh banyak kalangan, khususnya terutama bagi para investor yang selaku pemrakarsa, bank selaku pemberi kredit, dan pemerintah yang memberikan fasilitas tata peraturan hukum dan perundang-undangan, yang tentunya kepentingan semuanya itu berbeda satu sama lainya. Investor berkepentingan dalam rangka untuk mengetahui tingkat keuntungan dari investasi, bank berkepentingan untuk mengetahui tingkat keamanan kredit yang diberikan dan kelancaran pengembaliannya, pemerintah lebih menitik-beratkan manfaat dari investasi tersebut secara makro baik bagi perekonomian, pemerataan kesempatan kerja, dll.
Mengingat bahwa kondisi yang akan datang dipenuhi dengan ketidakpastian, maka diperlukan pertimbangan-pertimbangan tertentu karena di dalam studi kelayakan terdapat berbagai aspek yang harus dikaji dan diteliti kelayakannya sehingga hasil daripada studi tersebut digunakan untuk memutuskan apakah sebaiknya proyek atau bisnis layak dikerjakan atau ditunda atau bahkan dibatalkan. Hal tersebut diatas adalah menunjukan bahwa dalam studi kelayakan akan melibatkan banyak tim dari berbagai ahli yang sesuai dengan bidang atau aspek masing-masing seperti ekonom, hukum, psikolog, akuntan, perekayasa teknologi dan lain sebagainya.
Dan studi kelayakan biasanya digolongkan menjadi dua bagian yang berdasarkan pada orientasi yang diharapkan oleh suatu perusahaan yaitu berdasarkan orientasi laba, yang dimaksud adalah studi yang menitik-beratkan pada keuntungan yang secara ekonomis, dan orientasi tidak pada laba (social), yang dimaksud adalah studi yang menitik-beratkan suatu proyek tersebut bisa dijalankan dan dilaksanakan tanpa memikirkan nilai atau keuntungan ekonomis.

PENGERTIAN
Jadi pengertian studi kelayakan peroyek atau bisnis adalah penelitihan yang menyangkut berbagai aspek baik itu dari aspek hukum, sosial ekonomi dan budaya, aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis dan teknologi sampai dengan aspek manajemen dan keuangannya, dimana itu semua digunakan untuk dasar penelitian studi kelayakan dan hasilnya digunakan untuk mengambil keputusan apakah suatu proyek atau bisnis dapat dikerjakan atau ditunda dan bahkan ditadak dijalankan.
RUANG LINGKUP
Aspek yang terdapat pada studi kelayakan proyek atau bisnis yang terdiri dari berbagai aspek yang sudah disebutkan di atas antara lain :


1. Aspek hukum
Berkaitan dengan keberadaan secara legal dimana proyek akan dibangun yang meliputi ketentuan hukum yang berlaku termasuk :
a. Perijinan :
i) Izin lokasi :
• sertifikat (akte tanah),
• bukti pembayaran PBB yang terakhir,
• rekomendasi dari RT / RW / Kecamatan
ii) Izin usaha :
• Akte pendirian perusahaan dari notaris setempat PT/CV atau berbentuk badan hukum lainnya.
• NPWP (nomor pokok wajib pajak)
• Surat tanda daftar perusahaan
• Surat izin tempat usaha dari pemda setempat
• Surat tanda rekanan dari pemda setempat
• SIUP setempat
• Surat tanda terbit yang dikeluarkan oleh Kanwil Departemen Penerangan

2. Aspek sosial ekonomi dan budaya
Berkaitan dengan dampak yang diberikan kepada masyarakat karena adanya suatu proyek tersebut :
a. Dari sisi budaya
Mengkaji tentang dampak keberadaan peroyek terhadap kehidupan masyarakat setempat, kebiasaan adat setempat.
b. Dari sudut ekonomi
Apakah proyek dapat mengubah atau justru mengurangi income per capita panduduk setempat. Seperti seberapa besar tingkat pendapatan per kapita penduduk, pendapatan nasional atau upah rata-rata tenaga kerja setempat atau UMR, dll.
c. Dan dari segi sosial
Apakah dengan keberadaan proyek wilayah menjadi semakin ramai, lalulintas semakin lancar, adanya jalur komunikasi, penerangan listrik dan lainnya, pendidikan masyarakat setempat.

Untuk mendapatkan itu semua dengan cara wawancara, kuesioner, dokumen, dll. Untuk melihat apakah suatu proyek layak atau tidak dilakukan dengan membandingkan keinginan investor atau pihak yang terkait dengan sumber data yang terkumpul.

3. Aspek pasar dan pemasaran
Berkaitan dengan adanya peluang pasar untuk suatu produk yang akan di tawarkan oleh suatu proyek tersebut :
• Potensi pasar
• Jumlah konsumen potensial, konsumen yang mempunyai keinginan atau hasrat untuk membeli.
Tentang perkembangan/pertumbuhan penduduk :
• Daya beli, kemampuan konsumen dalam rangka membeli barang mencakup tentang perilaku, kebiasaan, preferensi konsumen, kecenderungan permintaan masa lalu, dll.
• Pemasaran, menyangkut tentang starategi yang digunakan untuk meraih sebagian pasar potensial atau pelung pasar atau seberapa besar pengaruh strategi tersebut dalam meraih besarnya market share.

4. Aspek teknis dan teknologi
Berkaitan dengan pemilihan lokasi peroyek, jenis mesin, atau peralatan lainnya yang sesuai dengan kapasitas produksi, lay out, dan pemilihan teknologi yang sesuai.

5. Aspek manajemen
Berkaitan dengan manajemen pembangunan proyek dan operasionalnya.

6. Aspek keuangan
Berkaitan dengan sumber dana yang akan diperoleh dan proyeksi pengembaliannya dengan tingkat biaya modal dan sumber dana yang bersangkutan.