Sabtu, 21 April 2012

SILOGISME ALTERNATIF, ENTIMEN, SILOGISME DISJUNGTIF


Silogisme Alternatif
Silogisme alternatif adalah silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi alternatif. Proposisi alternatif yaitu bila premis minornya membenarkan salah satu alternatifnya. Kesimpulannya akan menolak alternatif yang lain. Contoh:
   Nenek Sumi berada di Bandung atau Bogor.
   Nenek Sumi berada di Bandung.
Jadi, Nenek Sumi tidak berada di Bogor.

Entimen

Silogisme ini jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tulisan maupun lisan. Yang dikemukakan hanya premis minor dan kesimpulan. Contoh entimen:
  • Dia menerima hadiah pertama karena dia telah menang dalam sayembara itu.
  • Anda telah memenangkan sayembara ini, karena itu Anda berhak menerima hadiahnya.

Silogisme Disjungtif

Silogisme disjungtif adalah silogisme yang premis mayornya merupakan keputusan disyungtif sedangkan premis minornya bersifat kategorik yang mengakui atau mengingkari salah satu alternatif yang disebut oleh premis mayor. Seperti pada silogisme hipotetik istilah premis mayor dan premis minor adalah secara analog bukan yang semestinya. Silogisme ini ada dua macam yaitu:
  • Silogisme disyungtif dalam arti sempit
Silogisme disjungtif dalam arti sempit berarti mayornya mempunyai alternatif kontradiktif. Contoh:
   Heri jujur atau berbohong.(premis1)
   Ternyata Heri berbohong.(premis2)
Ia tidak jujur (konklusi).
  • Silogisme disjungtif dalam arti luas
Silogisme disyungtif dalam arti luas berarti premis mayornya mempunyai alternatif bukan kontradiktif. Contoh:
   Hasan di rumah atau di pasar.(premis1)
   Ternyata tidak di rumah.(premis2)
Hasan di pasar (konklusi).
Hukum-hukum Silogisme Disjungtif
  • Silogisme disjungtif dalam arti sempit, konklusi yang dihasilkan selalu benar, apabila prosedur penyimpulannya valid.
Contoh:
   Hasan berbaju putih atau tidak putih.
   Ternyata Hasan berbaju putih.
Hasan bukan tidak berbaju putih.
  • Silogisme disjungtif dalam arti luas, kebenaran konklusinya adalah
  1. Bila premis minor mengakui salah satu alternatif, maka konklusinya sah (benar).
Contoh:
   Budi menjadi guru atau pelaut.
   Budi adalah guru.
Maka Budi bukan pelaut.
  1. Bila premis minor mengingkari salah satu alternatif, maka konklusinya tidak sah (salah).
Contoh:
   Penjahat itu lari ke Solo atau ke Yogyakarta.
   Ternyata tidak lari ke Yogyakarta
Dia lari ke Solo?
Konklusi yang salah karena bisa jadi dia lari ke kota lain

SILOGISME KATEGORIAL


Silogisme kategorial adalah silogisme yang semua proposisinya merupakan kategorial. Proposisi yang mendukung silogisme disebut dengan premis yang kemudian dapat dibedakan menjadi premis mayor (premis yang termnya menjadi predikat), dan premis minor ( premis yang termnya menjadi subjek). Yang menghubungkan diantara kedua premis tersebut adalah term penengah (middle term). Contoh:
Semua tumbuhan membutuhkan air. (Premis Mayor)
Akasia adalah tumbuhan (premis minor).
Akasia membutuhkan air (Konklusi)
Hukum-hukum Silogisme Katagorik.
·         Apabila salah satu premis bersifat partikular, maka kesimpulan harus partikular juga.
 Contoh:
Semua yang halal dimakan menyehatkan (mayor).
Sebagian makanan tidak menyehatkan (minor).
Sebagian makanan tidak halal dimakan (konklusi).
  • Apabila salah satu premis bersifat negatif, maka kesimpulannya harus negatif juga.
Contoh:
Semua korupsi tidak disenangi (mayor).
   Sebagian pejabat korupsi (minor).
 Sebagian pejabat tidak disenangi (konklusi).
  • Apabila kedua premis bersifat partikular, maka tidak sah diambil kesimpulan.
Contoh:
   Beberapa politikus tidak jujur (premis 1).
   Bambang adalah politikus (premis 2).
Kedua premis tersebut tidak bisa disimpulkan. Jika dibuat kesimpulan, maka kesimpulannya hanya bersifat kemungkinan (bukan kepastian). Bambang mungkin tidak jujur (konklusi).
  • Apabila kedua premis bersifat negatif, maka tidak akan sah diambil kesimpulan. Hal ini dikarenakan tidak ada mata rantai yang menhhubungkan kedua proposisi premisnya. Kesimpulan dapat diambil jika salah satu premisnya positif.

Contoh:
   Kerbau bukan bunga mawar (premis 1).
   Kucing bukan bunga mawar (premis 2).
Kedua premis tersebut tidak mempunyai kesimpulan
  • Apabila term penengah dari suatu premis tidak tentu, maka tidak akan sah diambil kesimpulan. Contoh; semua ikan berdarah dingin. Binatang ini berdarah dingin. Maka, binatang ini adalah ikan? Mungkin saja binatang melata.
  • Term-predikat dalam kesimpulan harus konsisten dengan term redikat yang ada pada premisnya. Apabila tidak konsisten, maka kesimpulannya akan salah.
Contoh:
   Kerbau adalah binatang.(premis 1)
   Kambing bukan kerbau.(premis 2)
  Kambing bukan binatang ?
Binatang pada konklusi merupakan term negatif sedangkan pada premis 1 bersifat positif
  • Term penengah harus bermakna sama, baik dalam premis mayor maupun premis minor. Bila term penengah bermakna ganda kesimpulan menjadi lain.
Contoh:
   Bulan itu bersinar di langit.(mayor)
   Januari adalah bulan.(minor)
  Januari bersinar dilangit?
  • Silogisme harus terdiri tiga term, yaitu term subjek, predikat, dan term, tidak bisa diturunkan konklsinya.
Contoh:
   Kucing adalah binatang.(premis 1)
   Domba adalah binatang.(premis 2)
   Beringin adalah tumbuhan.(premis3)
   Sawo adalah tumbuhan.(premis4)
Dari premis tersebut tidak dapat diturunkan kesimpulannya

Silogisme Hipotetik


Silogisme hipotetik adalah argumen yang premis mayornya berupa proposisi hipotetik, sedangkan premis minornya adalah proposisi katagorik. Ada 4 (empat) macam tipe silogisme hipotetik:
  • Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagian antecedent.
Contoh:
   Jika hujan saya naik becak.(mayor)
   Sekarang hujan.(minor)
Saya naik becak (konklusi).
  • Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagian konsekuennya.
Contoh:
   Jika hujan, bumi akan basah (mayor).
    Sekarang bumi telah basah (minor).
Hujan telah turun (konklusi)
  • Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari antecedent.
Contoh:
   Jika politik pemerintah dilaksanakan dengan paksa, maka kegelisahan akan timbul.
   Politik pemerintahan tidak dilaksanakan dengan paksa.
Kegelisahan tidak akan timbul.
  • Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari bagian konsekuennya.
Contoh:
   Bila mahasiswa turun ke jalanan, pihak penguasa akan gelisah.
   Pihak penguasa tidak gelisah.
Mahasiswa tidak turun ke jalanan.
Hukum-hukum Silogisme Hipotetik Mengambil konklusi dari silogisme hipotetik jauh lebih mudah dibanding dengan silogisme kategorik. Tetapi yang penting menentukan kebenaran konklusinya bila premis-premisnya merupakan pernyataan yang benar. Bila antecedent kita lambangkan dengan A dan konsekuen dengan B, maka hukum silogisme hipotetik adalah:
  • Bila A terlaksana maka B juga terlaksana.
  • Bila A tidak terlaksana maka B tidak terlaksana. (tidak sah = salah)
  • Bila B terlaksana, maka A terlaksana. (tidak sah = salah)
  • Bila B tidak terlaksana maka A tidak terlaksana.

Silogisme Alternatif

Silogisme alternatif adalah silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi alternatif. Proposisi alternatif yaitu bila premis minornya membenarkan salah satu alternatifnya. Kesimpulannya akan menolak alternatif yang lain. Contoh:
   Nenek Sumi berada di Bandung atau Bogor.
   Nenek Sumi berada di Bandung.
Jadi, Nenek Sumi tidak berada di Bogor.

PENGARUH PENGGUNAAN BAHASA GAUL TERHADAP PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA



Seiring dengan perkembangan zaman ke zaman khususnya di Negara Indonesia semakin terlihat pengaruh yang diberikan oleh bahasa gaul terhadap bahasa Indonesia dalam penggunaan tata bahasanya. Penggunaan bahasa gaul oleh masyarakat luas menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa pada saat sekarang dan masa yang akan dating.
Dewasa ini, masyarakat sudah banyak yang memakai bahasa gaul dan parahnya lagi generasi muda Indonesia juga tidak terlepas dari pemakaian bahasa gaul ini. Bahkan generasi muda inilah yang banyak memakai bahasa gaul daripada pemakaian bahasa Indonesia. Untuk menghindari pemakaian bahasa gaul yang sangat luas di masyrakat, seharusnya kita menanamkan kecintaan dalam diri generasi bangsa terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Dalam pergaulan internasional, bahasa Indonesia mewujudkan identitas bangsa Indonesia. Seiring dengan munculnya bahasa gaul dalam masyarakat, banyak sekali dampak atau pengaruh yang ditimbulkan oleh bahasa gaul terhadap perkembangan bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa diantaranya sebagai berikut:

1. Eksistensi Bahasa Indonesia Terancam Terpinggirkan Oleh Bahasa Gaul.            Berbahasa sangat erat kaitannya dengan budaya sebuah generasi.
Kalau generasi negeri ini kian tenggelam dalam pembususkan bahasa Indonesia yang lebih dalam, mungkin bahasa Indonesia akan semakin sempoyongan dalam memanggul bebannya sebagai bahasa nasional dan identitas bangsa. Dalam kondisi demikian, diperlukan pembinaan dan pemupukan sejak dini kepada generasi muda agar mereka tidak mengikuti pembusukan itu.

Pengaruh arus globalisasi dalam identitas bangsa tercermin pada perilaku masyarakat yang mulai meninggalkan bahasa Indonesia dan terbiasa menggunakan bahasa gaul. Saat ini jelas di masyarakat sudah banyak adanya penggunaan bahasa gaul dan hal ini diperparah lagi dengan generasi muda Indonesia juga tidak terlepas dari pemakaian bahasa gaul. Bahkan, generasi muda inilah yang paling banyak menggunakan dan menciptakan bahasa gaul di masyarakat.

2. Menurunnya Derajat Bahasa Indonesia.
            Bahasa Indonesia masih sangat muda usianya dibandingkan dengan bahasa lainya, tidak mengherankan apabila dalam sejarah pertumbuhannya, perkembangan bahasa asing yang lebih maju. Seperti kita ketahui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini dikuasai oleh bangsa-bangsa barat. Merupakan hal yang wajar apabila bahasa mereka pula yang menyertai penyebaran ilmu pengetahuan tersebut ke seluruh dunia. Indonesia sebagai Negara yang baru berkembang tidak mustahil menerima pengaruh dari Negara asing. Kemudian masuklah ke dalam bahasa Indonesia istilah-istilah kata asing karena memang makna yang dimaksud oleh kata-kata asing tersebut belum ada dalam bahasa Indonesia. Sesuai sifatnya sebagai bahasa represif, sangat membuka kesempatan untuk itu.
Melihat kondisi seperti ini, timbullah beberapa anggapan yang tidak baik. Bahasa Indonesia dianggap sebagai bahasa yang miskin, tidak mampu mendukung ilmu pengetahuan yang modern. Pada pihak lain muncul sikap mengagung-agungkan bahasa inggris dan bahasa asing lainnya. Dengan demikian timbul anggapan mampu berbahasa inggris atau bahasa asing merupakan ukuran derajat seseorang. Akhirnya motivasi untuk belajar menguasai bahasa asing lebih tinggi daripada belajar dan menguasai bahasa sendiri. Kenyataan adanya efek social yang lebih baik bagi orang yang mampu berbahasa asing daripada berbahasa Indonesia, hal ini lebih menurunkan lagi derajat bahasa Indonesia di mata orang awam

TUGAS : SOFTSKILL BAHASA INDONESIA 2
NAMA  : NABELLA YUANITA PUTRI
KELAS : 3 EA 16
NPM      : 1520 9557

PERANAN BAHASA INDONESIA DALAM PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI DI ERA GLOBALISASI


"Agaknya pemahaman, penghayatan, dan penghargaan kita terhadap bahasa nasional dan negara sendiri belum tumbuh secara maksimal dan proporsional. Padahal, tak henti-hentinya pemerintah menganjurkan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan kaidah yang baik dan benar –setelah kaidah bahasa Indonesia oleh beberapa oknum pejabat Orde Baru dirusak dengan merubah akhiran "kan" menjadi "ken"."
Bahasa Indonesia memegang peranan penting dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan sumber daya manusia yang relevan dengan perkembangan zaman. Karena itu, peningkatan pendidikan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah perlu dilakukan melalui peningkatan kemampuan akademik para pengajarnya.
Fungsi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah sebagai sarana pengembangan penalaran. Pembelajaran bahasa Indonesia selain untuk meningkatkan keterampilan berbahasa, juga untuk meningkatkan kemampuan berpikir, bernalar, dan kemampuan memperluas wawasan.
Peningkatan fungsi bahasa Indonesia sebagai sarana keilmuan perlu terus dilakukan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seirama dengan ini, peningkatan mutu pengajaran bahasa Indonesia di sekolah perlu terus dilakukan.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia sudah berusia 79 tahun. Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia, dalam rentang usia tersebut idealnya sudah mampu mencapai tingkat kematangan dan kesempurnaan, sebab sudah banyak merasakan lika-liku dan pahit-getirnya perjalanan sejarah.
Untuk menggetarkan gaung penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, pemerintah telah menempuh politik kebahasaan, dengan menetapkan bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa.
Namun, seiring dengan bertambahnya usia, bahasa Indonesia justru dihadang banyak masalah. Pertanyaan bernada pesimis justru bermunculan. Mampukah bahasa Indonesia menjadi bahasa budaya dan bahasa Iptek yang berwibawa dan punya prestise tersendiri di tengah-tengah dahsyatnya arus globalisasi? Mampukah bahasa Indonesia bersikap luwes dan terbuka dalam mengikuti derap peradaban yang terus gencar menawarkan perubahan dan dinamika? Masih setia dan banggakah para penuturnya dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi yang efektif di tengah-tengah perubahan dan dinamika itu?
Jika kita melihat kenyataan di lapangan, secara jujur harus diakui, bahasa Indonesia belum difungsikan secara baik dan benar. Para penuturnya masih dihinggapi sikap inferior (rendah diri) sehingga merasa lebih modern, terhormat, dan terpelajar jika dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulis, menyelipkan setumpuk istilah asing, padahal sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Agaknya pemahaman, penghayatan, dan penghargaan kita terhadap bahasa nasional dan negara sendiri belum tumbuh secara maksimal dan proporsional. Padahal, tak henti-hentinya pemerintah menganjurkan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan kaidah yang baik dan benar –setelah kaidah bahasa Indonesia oleh para pejabat Orde Baru dirusak dengan merubah akhiran "kan" menjadi "ken".
Akan tetapi, beberapa kaidah yang telah dikodifikasi dengan susah-payah tampaknya belum banyak mendapatkan perhatian masyarakat luas. Akibatnya bisa ditebak, pemakaian bahasa Indonesia bermutu rendah: kalimatnya rancu dan kacau, kosakatanya payah, dan secara semantik sulit dipahami maknanya. Anjuran untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar seolah-olah hanya bersifat sloganistis, tanpa tindakan nyata dari penuturnya (Sawali Tuhusetya, 2007).
Melihat persoalan di atas, tidak ada kata lain, kecuali menegaskan kembali pentingnya pemakaian bahasa Indonesia dengan kaidah yang baik dan benar. Hal ini –disamping dapat dimulai dari diri sendiri- juga perlu didukung oleh pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah.
Pembelajaran bahasa Indonesia tidak lepas dari belajar membaca, menulis, menyimak, berbicara, dan kemampuan bersastra. Aktivitas membaca merupakan awal dari setiap pembelajaran bahasa. Dengan membaca, siswa dilatih mengingat, memahami isi bacaan, meneliti kata-kata istilah dan memaknainya. Selain itu, siswa juga akan menemukan informasi yang belum diketahuinya. Dari hasil membaca, siswa dilatih berbicara, bercerita dan mampu mengungkapkan pen­dapat juga membuat kesimpulan.
Dengan menulis, siswa dapat merefleksikan hasil bacaan dan pengamatannya. Dengan menyimak, siswa dapat mengkomparasikan pengetahuannya dengan berbagai hal yang disimak. Dengan berbicara, siswa dapat mengaktualisasikan pengetahuannya dalam bentuk komunikasi dengan orang lain. Dengan kemampuan bersastra, siswa dapat menampilkan nilai estetis dari bahasa, baik lisan maupun tulisan.
Untuk menopang semua itu, guru bahasa Indonesia harus dapat memotivasi siswa agar rajin membaca, termasuk membaca surat kabar. Dengan membaca surat kabar, mereka mampu beropini, baik di kelas pada waktu belajar atau melalui majalah dinding (mading) yang ada di sekolahnya. Selanjutnya, siswa pun mampu beropini melalui media cetak. Saat ini media yang khusus untuk bacaan pelajar memang masih sangat sedikit, karena surat kabar terlalu didominasi media cetak hiburan.
Dengan membaca surat kabar setiap hari, ilmu pengetahuan siswa akan bertambah. Tanpa disadari sebenarnya mereka juga sedang belajar bahasa Indonesia. Setelah gemar membaca, siswa juga perlu dimotivasi untuk hobi menulis, menyimak, berkomunikasi dan bersastra. Guru akan merasa bangga kalau memiliki siswa yang berani mengungkapkan pendapat dengan bahasa yang santun dan logis.
 
Oleh : Abd. Rouf, S.S
(Guru MA. Ihyaul Ulum & SMPN 41 Surabaya)
 
 
TUGAS   : SOFTSKILL BAHASA INDONESIA 2
NAMA   : NABELLA YUANITA PUTRI
KELAS : 3 EA 16