Silogisme alternatif
adalah silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi alternatif.
Proposisi alternatif yaitu bila premis minornya membenarkan salah satu
alternatifnya. Kesimpulannya akan menolak alternatif yang lain. Contoh:
Silogisme ini jarang
ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tulisan maupun lisan. Yang dikemukakan hanya premis minor dan kesimpulan. Contoh
entimen:
Dia menerima hadiah pertama karena dia telah
menang dalam sayembara itu.
Anda telah memenangkan sayembara ini, karena
itu Anda berhak menerima hadiahnya.
Silogisme Disjungtif
Silogisme disjungtif
adalah silogisme yang premis mayornya merupakan keputusan disyungtif sedangkan
premis minornya bersifat kategorik yang mengakui atau mengingkari salah satu
alternatif yang disebut oleh premis mayor. Seperti pada silogisme hipotetik
istilah premis mayor dan premis minor adalah secara analog bukan yang
semestinya. Silogisme ini ada dua macam yaitu:
Silogisme disyungtif
dalam arti sempit
Silogisme disjungtif
dalam arti sempit berarti mayornya mempunyai alternatif kontradiktif. Contoh:
Heri jujur atau berbohong.(premis1)
Ternyata Heri berbohong.(premis2)
∴
Ia tidak jujur (konklusi).
Silogisme disjungtif
dalam arti luas
Silogisme disyungtif
dalam arti luas berarti premis mayornya mempunyai alternatif bukan
kontradiktif. Contoh:
Silogisme kategorial adalah silogisme yang semua proposisinya merupakan
kategorial. Proposisi yang mendukung silogisme disebut dengan premis yang
kemudian dapat dibedakan menjadi premis mayor (premis yang termnya menjadi
predikat), dan premis minor ( premis yang termnya menjadi subjek). Yang menghubungkan diantara kedua premis tersebut adalah
term penengah (middle term). Contoh:
Kedua premis tersebut
tidak bisa disimpulkan. Jika dibuat kesimpulan, maka kesimpulannya hanya
bersifat kemungkinan (bukan kepastian). Bambang
mungkin tidak jujur (konklusi).
Apabila kedua premis bersifat negatif, maka
tidak akan sah diambil kesimpulan. Hal ini dikarenakan tidak ada mata
rantai yang menhhubungkan kedua proposisi premisnya. Kesimpulan
dapat diambil jika salah satu premisnya positif.
Apabila term penengah dari suatu premis tidak
tentu, maka tidak akan sah diambil kesimpulan. Contoh; semua ikan berdarah
dingin. Binatang ini berdarah dingin. Maka, binatang ini adalah ikan? Mungkin
saja binatang melata.
Term-predikat dalam kesimpulan harus
konsisten dengan term redikat yang ada pada premisnya. Apabila
tidak konsisten, maka kesimpulannya akan salah.
Silogisme hipotetik
adalah argumen yang premis mayornya berupa proposisi hipotetik, sedangkan
premis minornya adalah proposisi katagorik. Ada 4 (empat) macam tipe silogisme hipotetik:
Silogisme hipotetik yang premis minornya
mengakui bagian antecedent.
Silogisme hipotetik yang premis minornya
mengingkari antecedent.
Contoh:
Jika politik pemerintah dilaksanakan
dengan paksa, maka kegelisahan akan timbul.
Politik pemerintahan tidak dilaksanakan
dengan paksa.
∴
Kegelisahan tidak akan timbul.
Silogisme hipotetik yang premis minornya
mengingkari bagian konsekuennya.
Contoh:
Bila mahasiswa turun ke jalanan, pihak
penguasa akan gelisah.
Pihak penguasa tidak gelisah.
∴ Mahasiswa tidak turun ke
jalanan.
Hukum-hukum Silogisme
Hipotetik Mengambil konklusi dari silogisme hipotetik jauh lebih mudah
dibanding dengan silogisme kategorik. Tetapi yang penting menentukan kebenaran
konklusinya bila premis-premisnya merupakan pernyataan yang benar. Bila
antecedent kita lambangkan dengan A dan konsekuen dengan B, maka hukum
silogisme hipotetik adalah:
Bila A terlaksana maka B juga terlaksana.
Bila A tidak terlaksana maka B tidak
terlaksana. (tidak sah = salah)
Bila B terlaksana, maka A terlaksana. (tidak
sah = salah)
Bila B tidak terlaksana maka A tidak
terlaksana.
Silogisme Alternatif
Silogisme alternatif
adalah silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi alternatif.
Proposisi alternatif yaitu bila premis minornya membenarkan salah satu
alternatifnya. Kesimpulannya akan menolak alternatif yang lain. Contoh:
Seiring dengan perkembangan zaman ke zaman
khususnya di Negara Indonesia
semakin terlihat pengaruh yang diberikan oleh bahasa gaul terhadap bahasa
Indonesia dalam penggunaan tata bahasanya. Penggunaan bahasa gaul oleh
masyarakat luas menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan bahasa Indonesia
sebagai identitas bangsa pada saat sekarang dan masa yang akan dating.
Dewasa ini, masyarakat sudah banyak yang memakai
bahasa gaul dan parahnya lagi generasi muda Indonesia juga tidak terlepas dari
pemakaian bahasa gaul ini. Bahkan
generasi muda inilah yang banyak memakai bahasa gaul daripada pemakaian bahasa
Indonesia. Untuk menghindari pemakaian bahasa gaul yang sangat luas di
masyrakat, seharusnya kita menanamkan kecintaan dalam diri generasi bangsa
terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Dalam
pergaulan internasional, bahasa Indonesia mewujudkan identitas bangsa
Indonesia. Seiring dengan munculnya bahasa gaul dalam masyarakat, banyak sekali
dampak atau pengaruh yang ditimbulkan oleh bahasa gaul terhadap perkembangan
bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa diantaranya sebagai berikut:
1. Eksistensi Bahasa Indonesia Terancam Terpinggirkan Oleh Bahasa Gaul. Berbahasa sangat erat kaitannya
dengan budaya sebuah generasi.
Kalau generasi negeri ini kian tenggelam dalam pembususkan bahasa Indonesia
yang lebih dalam, mungkin bahasa Indonesia akan semakin sempoyongan dalam
memanggul bebannya sebagai bahasa nasional dan identitas bangsa. Dalam kondisi
demikian, diperlukan pembinaan dan pemupukan sejak dini kepada generasi muda
agar mereka tidak mengikuti pembusukan itu.
Pengaruh
arus globalisasi dalam identitas bangsa tercermin pada perilaku masyarakat yang
mulai meninggalkan bahasa Indonesia dan terbiasa menggunakan bahasa gaul. Saat
ini jelas di masyarakat sudah banyak adanya penggunaan bahasa gaul dan hal ini
diperparah lagi dengan generasi muda Indonesia juga tidak terlepas dari
pemakaian bahasa gaul. Bahkan, generasi muda inilah yang paling banyak
menggunakan dan menciptakan bahasa gaul di masyarakat.
2. Menurunnya Derajat Bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia masih sangat
muda usianya dibandingkan dengan bahasa lainya, tidak mengherankan apabila
dalam sejarah pertumbuhannya, perkembangan bahasa asing yang lebih maju. Seperti
kita ketahui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini dikuasai oleh
bangsa-bangsa barat. Merupakan hal yang wajar apabila bahasa mereka pula yang
menyertai penyebaran ilmu pengetahuan tersebut ke seluruh dunia. Indonesia
sebagai Negara yang baru berkembang tidak mustahil menerima pengaruh dari
Negara asing. Kemudian masuklah ke dalam bahasa Indonesia istilah-istilah kata
asing karena memang makna yang dimaksud oleh kata-kata asing tersebut belum ada
dalam bahasa Indonesia. Sesuai sifatnya sebagai bahasa represif, sangat membuka
kesempatan untuk itu.
Melihat
kondisi seperti ini, timbullah beberapa anggapan yang tidak baik. Bahasa
Indonesia dianggap sebagai bahasa yang miskin, tidak mampu mendukung ilmu
pengetahuan yang modern. Pada pihak lain muncul sikap mengagung-agungkan bahasa
inggris dan bahasa asing lainnya. Dengan demikian timbul anggapan mampu
berbahasa inggris atau bahasa asing merupakan ukuran derajat seseorang. Akhirnya
motivasi untuk belajar menguasai bahasa asing lebih tinggi daripada belajar dan
menguasai bahasa sendiri. Kenyataan adanya efek social yang lebih baik bagi
orang yang mampu berbahasa asing daripada berbahasa Indonesia, hal ini lebih
menurunkan lagi derajat bahasa Indonesia di mata orang awam
"Agaknya pemahaman,
penghayatan, dan penghargaan kita terhadap bahasa nasional dan negara sendiri
belum tumbuh secara maksimal dan proporsional. Padahal, tak henti-hentinya pemerintah
menganjurkan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan kaidah yang baik dan
benar –setelah kaidah bahasa Indonesia oleh beberapa oknum pejabat Orde Baru
dirusak dengan merubah akhiran "kan" menjadi "ken"."
Bahasa Indonesia memegang
peranan penting dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
sumber daya manusia yang relevan dengan perkembangan zaman. Karena itu, peningkatan pendidikan bahasa
Indonesia di sekolah-sekolah perlu dilakukan melalui peningkatan kemampuan
akademik para pengajarnya.
Fungsi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
adalah sebagai sarana pengembangan penalaran. Pembelajaran bahasa Indonesia
selain untuk meningkatkan keterampilan berbahasa, juga untuk meningkatkan
kemampuan berpikir, bernalar, dan kemampuan memperluas wawasan.
Peningkatan fungsi bahasa Indonesia sebagai sarana
keilmuan perlu terus dilakukan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Seirama dengan ini, peningkatan mutu pengajaran bahasa Indonesia di
sekolah perlu terus dilakukan.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa
Indonesia sudah berusia 79 tahun. Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia,
dalam rentang usia tersebut idealnya sudah mampu mencapai tingkat kematangan
dan kesempurnaan, sebab sudah banyak merasakan lika-liku dan pahit-getirnya
perjalanan sejarah.
Untuk menggetarkan gaung penggunaan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar, pemerintah telah menempuh politik kebahasaan,
dengan menetapkan bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa.
Namun, seiring dengan bertambahnya usia, bahasa
Indonesia justru dihadang banyak masalah. Pertanyaan bernada pesimis justru
bermunculan. Mampukah bahasa Indonesia menjadi bahasa budaya dan bahasa Iptek
yang berwibawa dan punya prestise tersendiri di tengah-tengah dahsyatnya arus
globalisasi? Mampukah bahasa Indonesia bersikap luwes dan terbuka dalam
mengikuti derap peradaban yang terus gencar menawarkan perubahan dan dinamika? Masih
setia dan banggakah para penuturnya dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa komunikasi yang efektif di tengah-tengah perubahan dan dinamika itu?
Jika kita melihat kenyataan di lapangan, secara
jujur harus diakui, bahasa Indonesia belum difungsikan secara baik dan benar. Para
penuturnya masih dihinggapi sikap inferior (rendah diri) sehingga merasa lebih
modern, terhormat, dan terpelajar jika dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik
dalam ragam lisan maupun tulis, menyelipkan setumpuk istilah asing, padahal
sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Agaknya pemahaman, penghayatan, dan penghargaan
kita terhadap bahasa nasional dan negara sendiri belum tumbuh secara maksimal
dan proporsional. Padahal, tak henti-hentinya pemerintah menganjurkan untuk
menggunakan bahasa Indonesia dengan kaidah yang baik dan benar –setelah kaidah
bahasa Indonesia oleh para pejabat Orde Baru dirusak dengan merubah akhiran
"kan" menjadi "ken".
Akan tetapi, beberapa kaidah yang telah
dikodifikasi dengan susah-payah tampaknya belum banyak mendapatkan perhatian
masyarakat luas. Akibatnya bisa ditebak, pemakaian bahasa Indonesia bermutu
rendah: kalimatnya rancu dan kacau, kosakatanya payah, dan secara semantik
sulit dipahami maknanya. Anjuran untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik
dan benar seolah-olah hanya bersifat sloganistis, tanpa tindakan nyata dari
penuturnya (Sawali Tuhusetya, 2007).
Melihat persoalan di atas, tidak ada kata lain,
kecuali menegaskan kembali pentingnya pemakaian bahasa Indonesia dengan kaidah
yang baik dan benar. Hal ini –disamping dapat dimulai dari diri sendiri- juga
perlu didukung oleh pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah.
Pembelajaran bahasa Indonesia
tidak lepas dari belajar membaca, menulis, menyimak, berbicara, dan kemampuan
bersastra. Aktivitas membaca merupakan awal dari setiap pembelajaran bahasa.
Dengan membaca, siswa dilatih mengingat, memahami isi bacaan, meneliti
kata-kata istilah dan memaknainya. Selain
itu, siswa juga akan menemukan informasi yang belum diketahuinya. Dari hasil
membaca, siswa dilatih berbicara, bercerita dan mampu mengungkapkan pendapat
juga membuat kesimpulan.
Dengan menulis, siswa dapat merefleksikan hasil
bacaan dan pengamatannya. Dengan menyimak, siswa dapat mengkomparasikan
pengetahuannya dengan berbagai hal yang disimak. Dengan berbicara, siswa dapat
mengaktualisasikan pengetahuannya dalam bentuk komunikasi dengan orang lain. Dengan
kemampuan bersastra, siswa dapat menampilkan nilai estetis dari bahasa, baik
lisan maupun tulisan.
Untuk menopang semua itu, guru bahasa Indonesia
harus dapat memotivasi siswa agar rajin membaca, termasuk membaca surat kabar. Dengan
membaca surat kabar, mereka mampu beropini, baik di kelas pada waktu belajar
atau melalui majalah dinding (mading) yang ada di sekolahnya. Selanjutnya,
siswa pun mampu beropini melalui media cetak. Saat ini media yang khusus untuk
bacaan pelajar memang masih sangat sedikit, karena surat kabar terlalu
didominasi media cetak hiburan.
Dengan
membaca surat kabar setiap hari, ilmu pengetahuan siswa akan bertambah. Tanpa
disadari sebenarnya mereka juga sedang belajar bahasa Indonesia. Setelah gemar
membaca, siswa juga perlu dimotivasi untuk hobi menulis, menyimak,
berkomunikasi dan bersastra. Guru akan merasa bangga kalau memiliki siswa yang
berani mengungkapkan pendapat dengan bahasa yang santun dan logis. Oleh
: Abd. Rouf, S.S(Guru
MA. Ihyaul Ulum & SMPN 41 Surabaya)
TUGAS : SOFTSKILL BAHASA INDONESIA 2NAMA : NABELLA YUANITA PUTRIKELAS : 3 EA 16