"Agaknya pemahaman,
penghayatan, dan penghargaan kita terhadap bahasa nasional dan negara sendiri
belum tumbuh secara maksimal dan proporsional. Padahal, tak henti-hentinya pemerintah
menganjurkan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan kaidah yang baik dan
benar –setelah kaidah bahasa Indonesia oleh beberapa oknum pejabat Orde Baru
dirusak dengan merubah akhiran "kan" menjadi "ken"."
Bahasa Indonesia memegang
peranan penting dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
sumber daya manusia yang relevan dengan perkembangan zaman. Karena itu, peningkatan pendidikan bahasa
Indonesia di sekolah-sekolah perlu dilakukan melalui peningkatan kemampuan
akademik para pengajarnya.
Fungsi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
adalah sebagai sarana pengembangan penalaran. Pembelajaran bahasa Indonesia
selain untuk meningkatkan keterampilan berbahasa, juga untuk meningkatkan
kemampuan berpikir, bernalar, dan kemampuan memperluas wawasan.
Peningkatan fungsi bahasa Indonesia sebagai sarana
keilmuan perlu terus dilakukan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Seirama dengan ini, peningkatan mutu pengajaran bahasa Indonesia di
sekolah perlu terus dilakukan.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa
Indonesia sudah berusia 79 tahun. Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia,
dalam rentang usia tersebut idealnya sudah mampu mencapai tingkat kematangan
dan kesempurnaan, sebab sudah banyak merasakan lika-liku dan pahit-getirnya
perjalanan sejarah.
Untuk menggetarkan gaung penggunaan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar, pemerintah telah menempuh politik kebahasaan,
dengan menetapkan bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa.
Namun, seiring dengan bertambahnya usia, bahasa
Indonesia justru dihadang banyak masalah. Pertanyaan bernada pesimis justru
bermunculan. Mampukah bahasa Indonesia menjadi bahasa budaya dan bahasa Iptek
yang berwibawa dan punya prestise tersendiri di tengah-tengah dahsyatnya arus
globalisasi? Mampukah bahasa Indonesia bersikap luwes dan terbuka dalam
mengikuti derap peradaban yang terus gencar menawarkan perubahan dan dinamika? Masih
setia dan banggakah para penuturnya dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa komunikasi yang efektif di tengah-tengah perubahan dan dinamika itu?
Jika kita melihat kenyataan di lapangan, secara
jujur harus diakui, bahasa Indonesia belum difungsikan secara baik dan benar. Para
penuturnya masih dihinggapi sikap inferior (rendah diri) sehingga merasa lebih
modern, terhormat, dan terpelajar jika dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik
dalam ragam lisan maupun tulis, menyelipkan setumpuk istilah asing, padahal
sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Agaknya pemahaman, penghayatan, dan penghargaan
kita terhadap bahasa nasional dan negara sendiri belum tumbuh secara maksimal
dan proporsional. Padahal, tak henti-hentinya pemerintah menganjurkan untuk
menggunakan bahasa Indonesia dengan kaidah yang baik dan benar –setelah kaidah
bahasa Indonesia oleh para pejabat Orde Baru dirusak dengan merubah akhiran
"kan" menjadi "ken".
Akan tetapi, beberapa kaidah yang telah
dikodifikasi dengan susah-payah tampaknya belum banyak mendapatkan perhatian
masyarakat luas. Akibatnya bisa ditebak, pemakaian bahasa Indonesia bermutu
rendah: kalimatnya rancu dan kacau, kosakatanya payah, dan secara semantik
sulit dipahami maknanya. Anjuran untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik
dan benar seolah-olah hanya bersifat sloganistis, tanpa tindakan nyata dari
penuturnya (Sawali Tuhusetya, 2007).
Melihat persoalan di atas, tidak ada kata lain,
kecuali menegaskan kembali pentingnya pemakaian bahasa Indonesia dengan kaidah
yang baik dan benar. Hal ini –disamping dapat dimulai dari diri sendiri- juga
perlu didukung oleh pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah.
Pembelajaran bahasa Indonesia
tidak lepas dari belajar membaca, menulis, menyimak, berbicara, dan kemampuan
bersastra. Aktivitas membaca merupakan awal dari setiap pembelajaran bahasa.
Dengan membaca, siswa dilatih mengingat, memahami isi bacaan, meneliti
kata-kata istilah dan memaknainya. Selain
itu, siswa juga akan menemukan informasi yang belum diketahuinya. Dari hasil
membaca, siswa dilatih berbicara, bercerita dan mampu mengungkapkan pendapat
juga membuat kesimpulan.
Dengan menulis, siswa dapat merefleksikan hasil
bacaan dan pengamatannya. Dengan menyimak, siswa dapat mengkomparasikan
pengetahuannya dengan berbagai hal yang disimak. Dengan berbicara, siswa dapat
mengaktualisasikan pengetahuannya dalam bentuk komunikasi dengan orang lain. Dengan
kemampuan bersastra, siswa dapat menampilkan nilai estetis dari bahasa, baik
lisan maupun tulisan.
Untuk menopang semua itu, guru bahasa Indonesia
harus dapat memotivasi siswa agar rajin membaca, termasuk membaca surat kabar. Dengan
membaca surat kabar, mereka mampu beropini, baik di kelas pada waktu belajar
atau melalui majalah dinding (mading) yang ada di sekolahnya. Selanjutnya,
siswa pun mampu beropini melalui media cetak. Saat ini media yang khusus untuk
bacaan pelajar memang masih sangat sedikit, karena surat kabar terlalu
didominasi media cetak hiburan.
Dengan
membaca surat kabar setiap hari, ilmu pengetahuan siswa akan bertambah. Tanpa
disadari sebenarnya mereka juga sedang belajar bahasa Indonesia. Setelah gemar
membaca, siswa juga perlu dimotivasi untuk hobi menulis, menyimak,
berkomunikasi dan bersastra. Guru akan merasa bangga kalau memiliki siswa yang
berani mengungkapkan pendapat dengan bahasa yang santun dan logis.
TUGAS : SOFTSKILL BAHASA INDONESIA 2
NAMA : NABELLA YUANITA PUTRI
KELAS : 3 EA 16
sangat membantu
BalasHapus